Cerita Si Kancil dan Musang
Cerita Si Kancil dan Musang
Di pinggir hutan lebat yang berdekatan dengan perkampungan kecil, hiduplah empat bersaudara musang bernama Lobi, Loba, Lobo, dan Lubu. Mereka terkenal di antara para penghuni hutan sebagai para penculik ayam ulung. Setiap malam mereka menyelinap masuk ke kandang warga dan membawa pulang ayam-ayam gemuk sebagai santapan malam. Namun hari ini, mereka punya misi khusus yang lebih berisiko: menculik anak ayam paling gemuk se-kampung, si Cemot, anak dari induk ayam paling galak dan cerdik, Moni.
Di bawah pohon beringin tua yang akar-akarnya menjulur seperti jari tangan raksasa, keempat musang itu berkumpul dalam lingkaran. Lobi, si sulung, mengenakan ikat kepala daun pisang yang ia anggap sebagai mahkota pemimpin. Loba, si cerewet, membawa daun lebar untuk dijadikan papan strategi. Lobo, si pendiam tapi tajam pikirannya, duduk bersila sambil memegang ranting kecil, dan Lubu, si bungsu yang suka ngemil, sibuk mengunyah serangga kering sambil mendengarkan.
“Saudara-saudaraku,” ujar Lobi dengan gaya sok bijak, “malam ini kita akan melaksanakan Misi Cemot. Target: anak ayam paling montok se-kampung. Tantangan: induknya, si Moni. Solusi: siasat cerdas!”
Loba menepuk daun lebar di depannya. “Saya sudah buat peta kandang ayam Moni. Nih, lihat! Ada dua pintu masuk, satu di depan, satu di belakang. Tapi pintu belakang dijaga angsa galak. Jangan harap bisa lewat situ tanpa kena cubit!”
Lobo mengangguk pelan. “Berarti kita masuk dari depan. Tapi harus ada pengalihan perhatian. Si Moni itu bukan sembarang induk. Dia bisa mencium musang dari jarak sepuluh langkah dan menjerit kayak sirine!”
Lubu mendongak dari camilannya. “Aku bisa jadi ayam palsu. Aku nyamar, masuk kandang, pura-pura main sama Cemot. Terus kalian culik dia saat Moni lengah!”
Lobi melotot. “Nyamar jadi ayam? Kau musang, Lubu! Hidungmu aja udah keburu kelihatan mencurigakan!”
Luba terkekeh geli. “Atau kita pasang jebakan. Kita kirimkan surat palsu, isinya undangan pesta ayam di hutan. Si Moni keluar, kita ambil Cemot!”
“Dan siapa yang kirim surat? Kau pikir ayam bisa baca?” sela Lobo.
Mereka semua terdiam sejenak, lalu tertawa serempak sampai daun-daun gugur berjatuhan dari pohon beringin. Suasana perundingan menjadi seperti pentas dagelan.
“Tunggu-tunggu,” kata Lubu sambil mengunyah serangga terakhirnya, “gimana kalau kita pura-pura jadi pengantar pakan ternak? Kita pakai gerobak, isi rumput, dan bilang kita dari Dinas Pangan Ayam.”
Lobi ternganga. “Itu... itu ide paling gila yang pernah aku dengar… dan aku suka! Kita pakai gerobak! Kita nyamar jadi petugas!”
Loba bertepuk tangan. “Aku bisa menjahit baju dari karung goni, kita cat tulisan ‘DINAS PAKAN’ di dadanya!”
“Dan aku yang dorong gerobaknya. Kuatku lumayan,” ujar Lobo mantap.
Maka malam itu, keempat musang bersaudara sibuk membuat kostum dari karung goni, mencat gerobak dengan lumpur, dan menyusun pakan palsu dari daun-daunan. Mereka bahkan berlatih berkata, “Selamat pagi Bu Moni, kami dari dinas, mau bagi pakan subsidi!”
Sementara mereka latihan peran, suara tawa mereka menggema ke seluruh penjuru hutan. Mereka memang musang licik, tapi juga kompak, konyol, dan penuh ide-ide aneh yang tak jarang malah membuat mereka ketahuan duluan.
Malam pun tiba dengan rembulan menggantung tinggi seperti lentera perak di langit. Empat musang bersaudara—Lobi, Loba, Lobo, dan Lubu—bersiap dengan kostum karung goni yang bertuliskan "DINAS PAKAN AYAM" dengan tulisan miring-miring. Gerobak dari dahan tua dan roda kelapa siap didorong oleh Lobo, sementara Luba memegang clipboard dari kulit pohon, pura-pura mencatat data kandang.
Mereka berjalan menyusuri jalanan kampung ayam dengan langkah sok percaya diri. Di depan kandang Moni, Lobi mengetuk pagar kayu sambil menegakkan dada. “Selamat malam, Ibu Moni! Kami dari Dinas Pakan Ayam. Mau bagi pakan bersubsidi!”
Moni yang baru saja menanak jagung untuk sarapan besok menghampiri dengan curiga. “Subsidi? Lho, kok baru kali ini saya dengar. Dari mana kalian?”
Luba maju, menunjuk papan palsunya. “Ada dalam program nasional Ayam Sehat Bahagia. Tugas kami menyalurkan pakan hijau penuh vitamin dan mineral. Ini gratis, Bu, pokoknya cuma malam ini aja!”
Moni mengerutkan alis, menatap satu per satu ‘petugas’ itu. Tapi melihat gerobak berisi dedaunan wangi dan empat ‘pegawai’ yang tampak sangat sibuk mencatat dan tersenyum lebar-lebar, ia mulai goyah.
“Kebetulan, saya simpan pakan di lumbung belakang. Tunggu sini, ya. Jangan ganggu Cemot, dia lagi tidur di pojokan.”
Begitu Moni pergi, keempat musang itu langsung beraksi. Lubu menyelinap masuk kandang, mengangkat Cemot yang tengah tidur sambil mimpi makan cacing, dan dengan isyarat cepat, mereka berempat melarikan diri kembali ke hutan. Gerobak ditinggal, papan ditinggal, hanya Cemot yang ikut, digendong seperti boneka berbulu kuning.
Ketika Moni kembali dan melihat kandangnya kosong, ia menjerit sekencang-kencangnya. “CEMOOOOOT!!!” Suara itu menggema sampai ke pucuk-pucuk pohon dan membuat kelelawar jatuh dari ranting karena kaget.
Tak butuh lama, seekor kancil mungil berjas dan bercelana rompi muncul dari balik semak. Dia memakai kacamata bulat, membawa tas kecil, dan mengenakan topi detektif ala Inggris.
“Moni! Apa yang terjadi?!” tanya si Kancil, mengusap-usap telinganya yang hampir copot karena suara jeritan tadi.
“Cemot! Anakku! Diculik musang! Empat musang yang nyamar jadi petugas dinas!” isak Moni, kepalanya nyungsep di tumpukan jerami.
Kancil langsung berdiri tegak, menarik kaca pembesar dari dalam tasnya. “Tenang, saya Detektif Cerfik. Jurus Seribu Akal saya hanya butuh satu untuk mengatasi ini!”
Di tengah lebatnya hutan, si Kancil berjalan hati-hati, mengikuti jejak yang ditinggalkan para musang. Setelah menembus semak berduri dan melompati batang tumbang, ia akhirnya menemukan salah satu dari mereka: Lubu, si musang paling muda, sedang duduk di bawah pohon sambil menyuapi anak ayam Cemot dengan jagung rebus.
“Wah, wah, wah… Lubu! Lagi pesta kecil-kecilan, ya?” sapa Kancil sambil tersenyum licik.
Lubu menoleh cepat, kaget dan gugup. “Eh… Kancil! H-hai… cuma santai-santai kok.”
Kancil mendekat, membuka ransel kecil dari punggungnya, lalu mengeluarkan sebuah botol minuman berwarna jingga terang. “Aku sudah tau apa yang kalian lakukan di kampung ayam, tapi tenang saja. Aku bukan datang buat ganggu, malah mau bantu kamu.”
Lubu menyipitkan mata. “Bantu? Bantu apa?”
Kancil mencondongkan badan dan berbisik, “Minuman ini… punya efek luar biasa. Kalau teman-temanmu kamu kasih ini, mereka bakal tertidur pulas. Dan kamu bisa makan Cemot sendirian, nggak perlu dibagi empat. Hemat energi, kenyang maksimal!”
Lubu melongo, lalu matanya membulat. “Serius?! Wah, itu sih pintar banget, Cil! Tapi… mereka lagi nggak di sini.”
“Nah, itu dia, mereka ke mana?” tanya Kancil cepat, berpura-pura heran.
“Satu ke sungai ambil air buat minum, yang dua lagi cari kayu kering buat memanggang Cemot. Katanya biar matang merata!” jawab Lubu dengan bangga.
Kancil tersenyum lebar. “Mantap! Ini, simpan minumannya baik-baik. Tunggu mereka pulang dan kasih aja ke mereka, bilang kamu beli dari Pak Rubah. Biar nggak curiga.”
“Siap, Kancil! Terima kasih, kau sahabat sejati!” seru Lubu senang sambil menyembunyikan botol itu di balik semak.
Kancil lalu berpamitan dan segera menuju sungai. Tak butuh waktu lama, ia melihat seekor musang lain, Lobi, sedang membungkuk mengisi wadah dengan air.
“Lobi! Lagi sibuk, ya?” sapa Kancil dengan suara akrab.
“Hei, Kancil! Ya, biasa… jadi tukang air dadakan.”
Kancil mengeluarkan sebungkus makanan dari ranselnya. “Aku punya camilan istimewa dari Pak Rubah. Katanya sih, cuma dijual terbatas. Mungkin kamu mau?”
Mata Lobi berbinar. “Wah, tentu! Apa ini?”
“Camilan spesial. Tapi... kalau teman-temanmu makan ini, mereka bakal pingsan sebentar. Dan kamu bisa nikmatin si Cemot sendirian. Satu ayam dibagi empat tuh rugi, kan?” bisik Kancil licik.
Lobi tertawa pelan. “Heh, bener juga. Oke, terima kasih, Kancil. Ini rahasia kita ya.”
“Pastinya,” jawab Kancil sambil menyeringai, lalu segera menyelinap ke arah timur, mencari dua musang terakhir.
Di dekat semak kering, ia menemukan Loba dan Lobo sedang sibuk mengumpulkan ranting.
“Wah, kalian rajin banget! Persiapan pesta besar, ya?” sapa Kancil santai.
“Yoi! Cemot mau dipanggang malam ini. Kayu harus kering dan wangi!” jawab Loba sambil menata ranting.
Kancil membuka ranselnya dan mengeluarkan dua bungkusan makanan berbeda. “Kebetulan aku bawa makanan ringan dari Pak Rubah. Tapi cuma dua. Kalian beruntung banget.”
Mereka langsung menerimanya dengan senyum lebar.
“Denger ya,” kata Kancil dengan nada rendah, “kalau nanti teman kalian pingsan setelah makan ini… kalian bisa makan Cemot tanpa rebutan. Satu ayam buat dua musang, itu sih... puas banget.”
Lobo dan Loba saling pandang lalu tertawa kecil. “Hehehe… kita suka caramu berpikir, Cil!”
“Jangan bilang dari aku. Cukup bilang kamu beli dari Pak Rubah.”
“Siap, ini misi rahasia!” jawab mereka berbarengan.
Setelah misi selesai, Kancil kembali ke tempat persembunyiannya untuk mengintip hasil siasatnya. Ia tersenyum puas. “Sebentar lagi mereka akan memakan jebakan mereka sendiri,” gumamnya.
Dan benar saja… tak lama kemudian keempat musang berkumpul. Masing-masing membawa makanan dan minuman ‘hadiah dari Pak Rubah’, dan dengan niat licik yang sama, mereka saling bertukar dan menyantapnya tanpa curiga sedikit pun.
Selanjutnya? Mereka pun ambruk satu per satu seperti daun gugur, sementara si Cemot segera digendong Kancil untuk kembali ke kandangnya—selamat tanpa luka sedikit pun.
Dengan langkah ringan dan hati puas, Kancil melangkah keluar dari hutan, menggendong Cemot yang masih setengah bingung tapi jelas tampak lega. Udara peternakan terasa lebih hangat dari biasanya. Begitu kaki kecil Cemot menginjak tanah kandang, suara ribut langsung terdengar dari kandang ayam.
“CEMOOOOT!!!”
Induk ayam Moni langsung berlari dengan sayap terbentang lebar, air mata menetes dari matanya yang bulat. Ia memeluk Cemot erat-erat, menepuk-nepuk punggung anaknya sambil berdesak-desakan dengan ayam-ayam lainnya yang ikut gembira.
“Anakku! Kupikir kau sudah jadi sate musang!” isak Moni.
Cemot mengangguk pelan sambil menunjuk ke Kancil. “Tapi aku diselamatkan... sama Paman Kancil.”
Semua ayam langsung menoleh ke arah Kancil yang berdiri dengan tangan di pinggang dan senyum pahlawan di wajahnya. Seketika, mereka mengelilinginya.
“Pahlawan kita!”
“Hidup Kancil!”
“Cerdas dan tampan!”
Kancil terkikik kecil, mengangkat satu tangan dan berkata dengan suara lantang, “Tenang, tenang! Terima kasih atas sambutannya yang hangat, tapi aku ingin kalian semua dengar ini baik-baik!”
Ayam-ayam diam. Cemot duduk di pangkuan ibunya. Angin petang berembus pelan.
“Musang tidak pernah berubah. Hari ini mereka datang sebagai tukang sayur, besok bisa sebagai pedagang topi, dan lusa mungkin menyamar jadi dokter! Tapi tujuannya tetap satu: ayam untuk makan malam!”
Ayam-ayam mengangguk-angguk penuh perhatian. Bahkan ayam jago yang biasanya sok tangguh ikut menyimak.
“Kalian harus belajar waspada. Jangan terlalu mudah percaya, jangan terlalu cepat membuka pintu pagar kandang hanya karena dibawakan biji jagung. Dunia ini penuh tipu daya! Bahkan kadang yang datang dengan senyum, menyimpan niat mencuri ayam!” lanjut Kancil dengan gaya dramatis.
Moni mengangkat sayapnya. “Lalu, apa yang harus kami lakukan, Paman Kancil?”
“Pertama, pasang penjaga di pintu kandang. Kedua, jika melihat makhluk mencurigakan berkeliaran, laporkan! Dan ketiga… jangan biarkan anak-anak ayam berkeliaran tanpa pengawasan. Cemot ini sudah cukup bikin jantungku hampir copot!”
Moni menatap Kancil dan berkata pelan, “Kau bukan hanya pahlawan kami, Kancil. Kau guru kehidupan.”
Kancil mengedipkan mata. “Dan juga penggemar jagung panggang. Kalau boleh, aku minta satu bungkus sebelum pulang.”
Seluruh kandang meledak dalam tawa riang. Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan, hari di mana seekor kancil menyelamatkan seekor anak ayam—dan memberi pelajaran penting pada seluruh kawanan: bahwa kecerdikan dan kewaspadaan adalah senjata terbaik melawan niat jahat.
Sementara itu, di tengah hutan yang mulai redup, empat ekor musang perlahan mulai siuman. Kepala mereka terasa berat, lidah kering, dan perut... tetap kosong. Lubu adalah yang pertama membuka mata, mengerjap bingung melihat tiga temannya tergeletak tak jauh dari tempat ia menyuapi Cemot tadi.
“Loba? Lobi? Lobo? Kalian... kalian juga pingsan?”
Lobi berguling dan mengucek mata. “Ugh... kepala ku seperti habis digigit landak. Apa yang terjadi semalam?”
Loba memegangi perutnya sambil meringis. “Aku... aku cuma makan camilan yang kubeli dari Pak Rubah... tunggu... siapa yang kasih makanan itu ke kalian?”
Lobo mengangkat tangan. “Aku juga dapet dari Pak Rubah. Dia kasih makanan bungkus dan bilang ini bisa buat kita tambah kuat.”
Lubu langsung berdiri, ekornya tegak. “Tunggu, kalian semua... dapat makanan dari Pak Rubah?”
“Tentu,” jawab Loba. “Bungkusnya cokelat, isinya semacam... rempah-rempah aneh.”
Lobi mengernyit. “Tapi... aku kira cuma aku yang dapat. Kukira Pak Rubah cuma kasih ke aku karena aku tampan.”
“HAH?! Jadi bukan cuma aku?!” seru Lubu.
Keempat musang saling pandang. Mata mereka membelalak, perlahan wajah mereka berubah dari bingung jadi curiga, lalu ke arah tuduhan.
“Kamu yang kasih racun, ya?!” bentak Lobo sambil menunjuk Loba.
“Apa?! Justru kamu yang paling mencurigakan! Kamu selalu iri karena aku yang punya ide panggang ayam!” balas Loba.
“JANGAN SALAHKAN AKU!” teriak Lubi. “Aku cuma pengantar air dari sungai, aku bahkan belum sempat minum waktu itu!”
“Eh... eh... tunggu, jangan-jangan…” gumam Lubu yang mulai menyadari sesuatu. “Kalian semua... pernah bertemu dengan Kancil?”
Hening. Masing-masing mulai teringat percakapan sore itu. Minuman manis dari Kancil. Cemilan gurih dari Kancil. Janji rahasia untuk membuat tiga musang lainnya pingsan.
“OH TIDAAAKKK!!” serempak mereka menjerit. “KANCIL MENIPU KITA!”
Lubu menggertakkan gigi. “Dia menyuruhku kasih minuman ke kalian supaya kalian pingsan! Kukira aku akan makan Cemot sendirian!”
“Aku juga!” ujar Loba. “Dia bilang makanan itu akan buat kalian tidur, jadi aku bisa makan Cemot tanpa rebutan!”
“AKU JUGA!!!” kata Lobo dan Lobi bersamaan.
Seketika, keempatnya jatuh terduduk, wajah mereka muram dan kebingungan. Bukan hanya karena Cemot telah lenyap, tapi karena mereka baru sadar telah saling menipu dan tertipu dalam waktu bersamaan.
“Ini... ini benar-benar jurus seribu akal Kancil,” gumam Loba.
“Dia buat kita saling serakah, lalu hancur bersama,” tambah Lubu.
Lobo melipat tangan. “Aku nggak mau lagi jadi musang jahat... setidaknya untuk minggu ini.”
Mereka pun terdiam, menatap sisa api unggun yang masih berasap. Di kejauhan, suara ayam terdengar merdu, seolah dunia kembali aman... untuk sementara.
#Cerita #Dongeng #Indonesia #FairyTale #Animasi #CeritaRakyat #Legenda #Folklore #DongengAnak #Dongenginspiratif #CeritaRakyat #LegendaNusantara #DongengIndonesia #BudayaIndonesia #KisahRakyat #MalinKundang #CeritaTradisional #WarisanBudaya #KearifanLokal #CeritaAnakBangsa #FolkloreIndonesia #MitosDanLegenda #SejarahIndonesia #HikmahCeritaRakyat #CeritaInspiratif
Pesan moral dari kisah ini adalah bahwa keserakahan dan pengkhianatan hanya akan membawa kehancuran, bahkan di antara para sahabat sendiri. Ketika niat jahat bertemu dengan akal licik, maka yang terjadi bukan kemenangan, melainkan pelajaran pahit yang menyakitkan. Sebaliknya, kecerdikan yang digunakan untuk kebaikan, seperti yang dilakukan oleh Kancil, mampu menyelamatkan yang lemah dan memberi pelajaran berharga kepada yang berbuat salah. Maka berhati-hatilah dalam memilih niat, karena setiap rencana, baik atau buruk, pasti akan kembali kepada diri sendiri.
Semoga cerita ini bermanfaat dan menginspirasi! 🤗
Baiklah sahabat diarysiswa.com, demikian Cerita Si Kancil dan Musang. Cukup sekian dulu ya sharing kita kali ini. Semoga apa yang kami bagikan pada kesempatan ini bisa bermanfaat untuk kita bersama.
Sahabat diarysiswa.com, kami menyadari bahwa dengan keterbatasan yang kami miliki sudah tentu apa yang kami bagikan jauh dari kata sempurna. Namun, kami akan selalu berusaha untuk senantiasa menyajikan postingan-postingan yang terbaik dan kami akan selalu menguptude untuk memberikan yang terbaik. Tentunya dukungan dari sahabat semua sangat kami harapkan, senang rasanya jika sahabat-sahabat berkenan untuk membagikan postingan-postingan kami dimedia sosial para sahabat agar apa yang kami bagikan semakin memberikan manfaat untuk banyak orang. Amin 🙏
Komentar
Posting Komentar